Indonesia adalah salah satu negara pengguna jaringan sosial media dan teknologi digital yang paling antusias di dunia. Mulai dari profesional yang menetap di Jakarta sampai anak sekolahan di ujung Sumatera dan Papua, bisa dipastikan punya akun Facebook, bahkan Twitter. Tak peduli jaringan internet lokal lambat bukan main, yang penting eksis. Sikap tak mau kalah dalam menunjukkan eksistensi juga terlihat dari rajinnya pengguna aktif Facebook dan Twitter meng-update status.
Mulai dari yang sekadar menulis status jenaka menggelitik tawa, berkeluh kesah tak beraturan sampai yang mengomentari masalah negara serta kekisruhan dunia sosial politik Indonesia. Komentar-komentar tersebut ada yang cerdas dan membangun, ada yang sinis membuat miris atau sekadar share saja. Meski terbilang jarang membuka akun-akun pribadi saya, saya suka mengamati yang tertulis di wall atau timeline saya. Sebab kepribadian seseorang sangat tercermin dari bagaimana ia menggunakan akun sosial medianya: seberapa sering ia meng-update status, bagaimana ia menulis komentar dan berbagi pemikiran di sana. Dengan kata lain, kalau mau mengetahui seseorang lebih dekat, lihat saja bagaimana ia mengisi akun sosial media-nya.
Ketika seorang tante mengalami 'musibah', 'musibah' yang betul-betul mencederai nama baik dirinya dan berimbas pada nama keluarga besar kami, saya semakin tekun menyelidiki komentar-komentar seputar dirinya. Baik yang beredar di Twitter atau pun Facebook. Bahwa di tempat kerja saya sehari-hari saya kemudian mendapat perlakuan tak enak dan sindiran setajam silet, sudah sangat biasa buat saya. Begitu biasa sampai saya sudah mati rasa.
Namun yang membuat saya sangat keberatan adalah bukan saja bagaimana sejumlah media berusaha memotret tante saya sebagai pihak antagonis dalam kasus itu, berbagai hal yang tak relevan (dengan masalah integritas) yang melekat dengan dirinya pun turut dibawa-bawa menjadi bahan cemooh: rambut berwarna ungu, gaya yang glamour, bahkan sampai pengakuannya bahwa dia tidak berteman akrab dengan Nunun Dorodjatun ramai dijadikan bahan olokan. Padahal apa hubungannya rambut berwarna ungu dengan kemampuannya sebagai ekonom?
Kalau seseorang sangat peduli dengan penampilan apakah berarti dia pasti seseorang yang artifisial, yang tidak punya kepandaian dan integritas cukup untuk memegang suatu jabatan. Ia dilukiskan sebagai seseorang yang sangat ambisius bahkan rela membayar untuk suatu posisi.
Padahal saya tahu persis tante saya lebih dari itu. Setiap rumah dinas yang dipinjamkan kepadanya selama masa menjabat selalu ia kembalikan kepada negara seusai masa jabatannya berakhir. Ketika saya tinggal di Belanda, tante saya mendapat undangan konferensi di Brussels. Brussels hanya memakan waktu satu setengah jam dari Maastricht, kota tempat tinggal saya. Jadi saya pergi mengunjunginya, sebab tak tahu diri bila saya menolak undangan tante yang telah membiayai studi dan hidup saya di Belanda. Di Brussels tante bukan lagi dalam kapasitas pejabat negara. Jadi ia sengaja tidak menghubungi pihak kedutaan. Maka di hari pertama kami berjalan-jalan keliling Brussels dengan menggunakan Metro bawah tanah. Bahkan saya sempat menyaksikan pemandangan 'langka' ketika tante berlari-lari mengejar bis tour kota Brussels. Hampir di setiap kota besar Eropa yang kerap mengundang wisatawan ada bis tour yang memutari pusat-pusat atraksi menarik di kota itu. Hari pertama tante belum disibukkan jadwal konferensi jadi dia mengajak saya jalan-jalan keliling Brussels. And guess what...she could running faster than me...
Maksud saya adalah bertolak belakang dengan sudut penceritaan yang dipilih oleh media, terutama Tempo (such a sophisticated journalism Tempo. Puh!), di luar penampilannya yang modis, tante yang saya kenal bukan tipe orang tidak bisa menyesuaikan diri dengan keadaan. Yang bisa dengan mudah hanyut pada godaan uang dan jabatan lalu menghalalkan cara-cara ilegal demi mencapai ambisi. She's just too smart for that.
Melalui media, kita dapat dengan mudah melihat karakteristik suatu bangsa. Adalah Garin Nugroho yang pertama menyatakan ini. Itu komentarnya untuk situasi program televisi nasional yang demikian memprihatinkan. Namun pada era di mana orang tidak lagi menonton acara televisi di layar TV, melalui simpang siur komen yang bertebaran di akun Twitter dan Facebook pun karakter bangsa bisa disimpulkan dengan mudah.
Kasus Afriyani Susanti beberapa waktu lalu merupakan salah satu contoh menarik. Pihak yang mengutuk dan mengeluarkan komentar bernada menghakimi bertebaran di berbagai situs berita. Berbagai komen yang menyudutkan mudah ditemukan pada akun Facebook dan Twitter mana pun. Tidak sedikit yang menganggap Afriyani tak punya hati sebab raut wajahnya tak menampakkan penyesalan sama sekali. Padahal hati orang siapa yang tahu? Orang bisa saja menampakkan raut tenang tapi hati sedih bukan main. Dan ingat, Apri saat itu masih dalam keadaan high. Mabuk.
Di satu pihak komen di timeline Twitter anak-anak Cikini 73 yang teman-teman Afriyani dikabarkan (saya tak sempat membaca hanya mendengar) berapi-api membela Afriyani. Bahkan menggunakan kata-kata kasar yang tak pantas dan memalukan. "Jangan sok deh kayak gak pernah pake drugs saja!" itu komentar salah seorang di antara mereka.
Saya jadi agak malu. Jangankan menulis secara scientific, mengemukakan pendapat dengan reasonable saja banyak yang tidak bisa alumni kampus itu. Tidak usah bicara soal terukur apalagi sistematis, bahasa yang digunakan saja rata-rata kasar sekali. Argumennya pun lemah. Saya pribadi tidak terlalu pusing apakah orang suka mabuk-mabukan bahkan pakai drugs, kalau mau destruktif ya silahkan-silahkan saja asal tidak merugikan orang lain.
Tapi letak masalah bukan soal apakah Afriyani punya SIM atau tidak seperti yg diributkan salah seorang teman di wall Facebook saya, yang jadi masalah adalah kalau tahu sudah mabuk kenapa juga harus bersikeras menyetir mobil? Ini Jakarta. Taksi 24 jam. Kalau mampu beli shabu dan inex masa tidak bisa menyisihkan uang sama sekali buat bayar taksi. Kenapa harus bersikeras pakai mobil? Dan yang paling saya garis bawahi di sini, kenapa teman-temannya masih membiarkan Apri menyetir padahal sudah tahu dia lelah dan mabuk habis mengkonsumsi macam-macam: alkohol, shabu, inex...
Tuntutan tanggung jawab dan caci maki tidak layak hanya jatuh ke Apri seorang. Setiap orang 'dewasa' yang bersenang-senang dengannya di dini hari naas itu sebetulnya turut bertanggung jawab atas nyawa-nyawa yang ditebas oleh Apri.
Sementara untuk urusan komen, saya tidak berada di pihak yang membela berapi-api mau pun mencaci maki penuh semangat...sebab nasi telah menjadi bubur, pemakaman telah usai digelar, jadi apa gunanya semua kata-kata yang berhamburan itu?
Apa komen-komen dan sentimen tajam menyakitkan itu bisa membuat keadaan lebih baik? Lupakah mereka, para komentator kasus tante saya mau pun Apri...bahwa kadang-kadang kita hanya beruntung Tuhan tidak menempatkan kita pada posisi mereka...setiap orang kan diciptakan, dibentuk, dan diberi jalan yang berbeda...jadi kalau saya diberi keleluasaan sebagai pihak yang mencibir bukan dicibir, sebenarnya itu hanya soal keberuntungan saya semata.
Lantas apa karakteristik Indonesia sebagai negara pengguna sosial media? Indonesia itu negara para "komentator".